INDUSTRI BAJA DI INDONESIA , Peluang bisnis untuk pemasok , Baja memainkan peran penting dalam pengembangan sektor manufaktur di Indonesia. Sebagian besar sektor manufaktur dibangun untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat dari 650 juta penduduk ASEAN, bukan hanya untuk pasar domestik.
Baru-baru ini, pada tahun ini , Indonesia mengkonsumsi 12,7 juta ton baja. Namun, produsen dalam negeri hanya mampu memproduksi 6,8 juta ton, yang menyiratkan bahwa hampir setengah dari kebutuhan baja Indonesia harus berasal dari luar negeri, yang memberikan peluang besar bagi perusahaan-perusahaan Swiss.
Ketergantungan pada impor baja
Dari sudut pandang ekonomi, baja adalah logam dasar yang paling penting dengan nilai pasar global sebesar USD 225 miliar per tahun. Total konsumsi baja mentah Indonesia pada tahun 2022 adalah 14 juta ton, sementara total produksi dalam negeri hanya mencapai 8 juta ton. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia harus mengimpor 6 juta ton produk baja.
Permintaan baja diperkirakan akan meningkat pesat di Indonesia
The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) mengatakan bahwa Indonesia sangat membutuhkan investasi di industri baja untuk memperluas kapasitas produksi baja nasional. Di tahun-tahun mendatang, permintaan baja di Indonesia diperkirakan akan meningkat pesat karena adanya proyek-proyek konstruksi dan infrastruktur. Tanpa investasi, Indonesia akan semakin bergantung pada impor baja.
Investasi dalam produksi baja dalam negeri dibutuhkan
Pemerintah menargetkan kapasitas produksi baja dalam negeri meningkat menjadi 12 juta ton pada tahun 2019, diikuti dengan 17 juta ton pada tahun 2024, dan 25 juta ton pada tahun 2035. Namun, target ini – yang ditetapkan dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) – akan membutuhkan keterlibatan investor swasta.
Gambaran umum pasar dan peluang pasar untuk perusahaan-perusahaan Swiss
Indonesia adalah pasar yang menjanjikan di mana banyak perusahaan yang mencoba peruntungannya. Laporan yang disediakan oleh SBH Indonesia memberikan gambaran umum tentang industri baja Indonesia dan menyoroti peluang bisnis bagi perusahaan-perusahaan terutama di Sektor Manufaktur Otomotif dan Alat Berat.
Baca juga:
- INDUSTRI BAJA DI INDONESIA
- Besi Baja Tulangan
- 8 Tips Memulai Usaha Supplier dan Distributor Besi Baja
- Apa Itu Titanium ?
- Toko Besi Bandung Juara #1 Excellent
Kondisi Industri Baja di Indonesia
Industri baja di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup positif pada tahun 2021 di tengah tantangan COVID-19 yang masih mengancam sektor industri di seluruh dunia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal ketiga tahun 2021, industri baja Indonesia menunjukkan pertumbuhan di atas 9,82%. Selain itu, pertumbuhan positif ini juga didukung oleh ekspor produk baja yang mencapai USD 19,6 Miliar pada November 2021 dan mengalami surplus sebesar USD 6,1 Miliar.
Pertumbuhan positif sektor baja di Indonesia tentunya tidak lepas dari upaya pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang diwakili oleh Direktur Industri Logam, Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE), Budi Susanto menyampaikan, pertumbuhan positif sektor baja ini karena adanya upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah dengan konsep Smart Supply Demand, yang diimplementasikan dengan mengedepankan industri baja nasional mulai dari sektor hulu sampai dengan hilir. Pertumbuhan ini juga dipengaruhi oleh peningkatan permintaan baja yang didukung oleh kebijakan PPnBM otomotif yang tumbuh hingga 27% pada kuartal III 2021.
“Hal ini penting agar produk yang sudah diproduksi di dalam negeri dapat dimaksimalkan. Dan hampir semua impor yang ada merupakan bahan baku untuk berbagai jenis industri,” kata Budi Susanto dalam keterangannya.
Senada dengan pernyataan tersebut, The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) melaporkan bahwa investasi di sektor baja pada tahun 2021 tercatat sebesar USD 12 miliar, dan diperkirakan akan meningkat sebesar USD 15,2 miliar atau Rp 215 triliun pada tahun 2022. Hal ini tentu saja berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan baja nasional serta peningkatan ekspor, terutama di sektor hilir baja.
Konsekuensi yang dihadapi perkembangan industri baja di Indonesia saat ini adalah ketersediaan bahan baku untuk mempertahankan investasi di dalam negeri.
Permasalahan terjadi pada industri hulu khususnya baja karbon yang masih belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Direktur Komersial Krakatau Steel, Melati Sarnita mengatakan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi peningkatan impor baja sebesar 23% dari 3,9 juta ton di tahun 2020 menjadi 4,8 juta ton di tahun 2021.
Namun, beberapa ahli menilai bahwa penggunaan data tahun 2020 tidak relevan mengingat kondisi industri di Indonesia saat itu yang sangat terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Jika dibandingkan dengan data tahun 2019 yang masih dianggap lebih relevan, impor baja pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2019 mengalami penurunan yang cukup baik, yaitu dari 6,9 juta ton pada tahun 2019 menjadi 4,8 juta ton pada tahun 2021 atau turun 31%.
Selain itu, kenaikan volume impor baja juga dipengaruhi oleh praktik perdagangan yang tidak adil dengan melakukan dumping dan pergeseran pos tarif. Melati menyampaikan, kenaikan impor baja terbesar terjadi pada produk Cold Rolled Coil (CRC) sebesar 70 persen atau sekitar 1,5 juta ton di tahun 2021, yang sebelumnya hanya 881 ribu ton di tahun 2020.
Sementara itu, impor produk lainnya seperti Hot Rolled Coil (HRC) meningkat 16 persen, dan produk baja lembaran canai lantaian (Coated Sheet) mencapai 18 persen.
Hingga saat ini, Indonesia masih menjadi importir baja karbon dari negara-negara pengekspor baja dunia. Impor baja diproyeksikan akan menjadi komoditas impor non-migas terbesar kedua di Indonesia.
Seperti yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Research Oriented Development Analysis (RODA) Institute, Ahmad Rijal Ilyas, pemerintah telah menyusun beberapa program untuk mengendalikan impor, yaitu:
- Program substitusi impor, termasuk pengurangan nilai impor untuk beberapa produk baja
- Program peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN)
- Penerapan SNI wajib untuk melindungi konsumen dalam negeri dari produk baja yang kurang berkualitas
- Pemberian insentif untuk mendorong peningkatan investasi di sektor industri logam.
Produsen baja di Indonesia mengharapkan selain program-program yang telah disusun oleh pemerintah, perlu adanya pengetatan izin impor terutama untuk produk baja yang dapat diproduksi di dalam negeri. Peningkatan impor yang terus menerus tentu saja dapat mengganggu investasi untuk sektor baja di Indonesia.